Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2017

Manusia itu ....

Opportunistic, Egoistic , dan terlalu menganggap gampang suatu hal. Manusia itu selalu memanfaatkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa menguntungkan diri mereka. Okelah jika itu tidak merugikan orang lain, tapi kini banyak orang yang memanfaatkan kesempatan dikala kesempitan orang lain. Manusia itu selalu sok ide, ngasih ide ini lah itu lah. Ketika itu dia sekaligus memposisikan dirinya sendiri di posisi yang menguntungkan. Manusia itu suka males, tunda kerjaan, gampangin kerjaan. Padahal harus segera diselesaiin tapi dia males-malesan, gampanglah ntar juga selesai. "Gampanglah kamu kan bisa bantuin". Hei sadar, hidup ga cuma ngerjain satu atau dua kerjaan aja, masih banyak itu numpuk. Life is not a race but please be realistic. Not all your duties can be done just because you say it "gampang". Maka dari itu, please semoga kita bukan tergolong ketiga orang itu. Kita makhluk sosial, wajar hidup saling bantu membantu. Tapi ketika seseorang membantu kita namun mengo

Scandinavia

Beberapa minggu lalu saya menyimak diskusi grup Insan Bahagia. Grup yang isinya teman-teman yang positive, penuh ambisi dalam meraih mimpi, dan pantang menyerah dengan cita-cita mereka. Pada saat itu mentor kita sedang membahas tentang "Kenapa kuliah di Scandinavia?? " Berikut ulasannya. By: Kanda Luthfi Nur Rosyidi 1.       Bisa belajar dan menuntut ilmu dengan efesien tanpa kehilangan kualitas hidup. PhD di Denmark (dan negara Skandinavia lain mestinya) bisa ditemppuh hanya dalam waktu 3 tahun. tapi dalam tiga tahun itupun tidak berarti mengurangi kualitas. karena kita benar-benar disupervise dan ada target publikasi 4 paper yang harus publish di jurnal. mereka intinya ingin efisien. Hal ini juga berlaku dalam kuliah master. Denmark (dan negara Nordic pada umumnya) terkenal dengan work-life balance. kerja ndak lama tapi efektif. makanya selalu ada di peringkat tertinggi negara paling bahagia sedunia. 2.        Bahasa inggris adalah bukan bahasa resmi. Meski

Dream

Impian adalah suatu hal yang memotivasi hidup. Cita-cita adalah impian yang harus terus diperjuangkan        Masa remaja penuh mimpi perlahan semakin menjauh karena usia. Di usia 23 tahun, seseorang pada umumnya sudah memikirkan banyak hal. Usia yang cukup matang lah untuk mikirin entah itu capaian karir, jodoh, dan tentunya perbaikan diri dengan meningkatkan kualitas ibadah. Orang  mulai merasakan bahwa sehari 24 jam itu sebentar banget,  gak cukup untuk melakukan banyak hal, kadang udah kerja tanpa istirahat tapi masih tetep ninggal pe-er.  Ketika keinginan, mimpi, dan cita-cita selama 23 tahun belum banyak yang terwujud, rasanya ingin  do something  yang bisa ngebuat semuanya cepat terwujud. Impian yang tertata rapi kadang harus direlakan skip satu per satu demi menjalankan satu dan lain hal yang sifatnya udah didepan mata dan “harus dijalani yang ini dulu, ntar kalau udah selesai baru deh kembali ke mimpi dan harapan”. Cita-cita. Sesuatu yang terus-menerus menghantui pi

Feel every step of our life

Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah artikel di sebuah blog milik seorang pelajar yang sedang menuntut ilmu di Jerman. Judul artikel tersebut adalah "Life is not a race". Mengapa manusia harus selalu menargetkan di usia sekian seseorang harus sudah menempuh capaian tertentu dalam hidupnya. Di sekian umur sudah harus lulus selesaikan skripsi, lulus kuliah, kerja, menikah lalu punya anak dsb. Memiliki target atau goals dalam hidup bukan berarti dalam menjalani setiap prosesnya kita harus tergesa sehingga lupa menikmati proses tersebut. Lalu saya membuka grup multiple chat pengejar beasiswa yang saya ikuti. Dalam grup tersebut teman-teman sedang membahas mengenai "Time Zone". Jadi setiap manusia hidup pada zona waktunya masing-masing. Seseorang yang lulus dari perkuliahan lebih dulu belum tentu mendapat pekerjaan lebih cepat dari orang yang lulus terlambat. Bisa jadi seseorang yang lulus terlambat bisa secara langsung mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan yan