Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Pengalaman Rekrutmen PCPM Bank Indonesia

Hallo jobseekers, entah siapa yang baca, tapi ini aku tulis berdasarkan pengalaman yang udah aku jalanin 3 tahun terakhir khususnya waktu apply Rekrutmen Bank Indonesia jalur PCPM. WOW Kedengarannya keren sih ya kenapa berani nge- apply di rekrutmen warbiasah macam PCPM ini. Karena…. “namanya juga usaha”. Beberapa temen kasih motivasi, beberapa temen bilang “wah aku mah ga berani”. Tapi let’s check this out. Jadi, BI ini hampir tiap tahun, kalo aku amatin tiap akhir tahun sekitar bulan September selalu buka rekrutmen jalur PCPM. Apa itu PCPM? Jadi PCPM yang merupakan singkatan dari Pendidikan Calon Pegawai Muda ini merupakan salah satu jalur penerimaan pegawai yang dipersiapkan untuk menjadi pimpinan di Bank Indonesia. Melalui jalur PCPM, mereka yang terjaring dipersiapkan menjadi calon-calon pemimpin masa depan Bank Indonesia. Oke kita lanjut ke cerita detailnya berdasarkan pengalaman eike. Pertama daftar PCPM BI adalah waktu aku baru aja dapet SKL (Surat Keterangan

Hakikat Manusia dalam Bekerja. IMO

Dalam sistem perekonomian islam, bekerja dapat diartikan sebagai peneguhan eksistensi kekhalifahan. Ketika manusia diberikan mandat oleh Tuhan untuk mengatur dan mengelola bumi, maka dapat dipahami bahwa manusia harus bekerja. Ketika manusia tidak bekerja, berarti manusia telah mengkhianati eksistensi kekhalifahan dirinya yang dipercayakan Tuhan kepadanya. Selain itu bekerja juga merupakan suatu kewajiban karena dengan bekerja manusia dapat melakukan kegiatan ibadah. Ketika hasil dari bekerja kita gunakan sebagai sarana pembangunan tempat ibadah dan sarana dalam berbagi ilmu maka dalam konteks ini bekerja dapat juga diartikan sebagai salah satu kegiatan ibadah. Ketika bekerja, manusia juga berinteraksi dengan manusia lain, dengan begitu akan menambah amalan ibadah muamalah. Kemudian sebagai bonus dari bekerja tersebut, manusia bisa memperoleh kekayaan yang menurut islam didalamnya terkandung kemuliaan. Karena dengan kekayaan manusia mempunyai kesempatan untuk membantu orang l

Trust Me It Work

Percaya. Satu kata yang punya arti besar. Aku dulu adalah seorang yang mudah sekali percaya pada orang lain. Mungkin karena aku anak bungsu yang selalu bisa mempercayakan semuanya pada orang tua dan kakak-kakakku. Semua hal sudah tersedia, tertata dengan baik. Aku hanya perlu untuk mengikuti aturan dan alurnya. Imbasnya aku jadi kurang responsive dan mandiri dalam mengambil keputusan. Kebiasaan percaya ini terbawa hingga aku berumur 18 tahun, dimana aku harus memulai hidup baru secara mandiri jauh dari orang tua. Walaupun tidak sepenuhnya independen, setiap keputusan yang aku buat, setiap orang yang aku kenal, pada siapa aku menaruh rasa percaya, semua ada ditanganku. Aku mulai belajar mandiri, mulai mempercayakan banyak hal ke orang lain diluar keluarga. Awalnya sangat mudah tapi ketika hasil yang diperoleh, rasa yang ditimbulkan, dan akhir yang terjadi tidak semulus biasanya pikirku berubah. Percaya tidak harus diberikan bahkan pada orang yang kita kira baik. Sampai pada sa

Facing Reality..

Pernah gak sih kalian marah sama diri sendiri? Kenapa ga bisa penuhin tujuan? Kenapa ga bisa wujudin mimpi? Kenapa hal sesimpel itu ga bisa dilakuin? Kenapa ngomong sesuai planning ga jadi terlaksana? Seiring berjalannya waktu aku sadar, yang kayak gini ini sering banget aku teriakin ke otakku. Nyesel kenapa ga bilang kayak gini, harusnya bisa tadi pake plan ini, kenapa soal yang keluar pas ujian ga sesuai dengan presdiksiku. Kenapa laporan keuangan ga bisa release tepat waktu. Kenapa goal yang udah disusun rapi jadi berantakan. Sering banget aku mem- bully diri sendiri karena kesalahanku sendiri, dan itu terulang. Rasanya setelah suatu kesalahan terjadi aku pengin banget perbaiki and I did it . Tapi dikemudian hari ada case lain dan aku udah prediksiin gimana nanti solusinya, but the fact is I did the same mistake . Seseorang pernah bilang ke aku, sosok inspiratif yang mungkin kini telah memendam mimpi besarnya dan mengganti dengan mimpi yang lebih besar. Beliau bilang pad

My Quarter Life Crisis (Part 1)

Tulisan ini aku buat selama aku berumur 24 tahun menuju 25 tahun. Beberapa orang menyebutnya quarter life crisis , padahal kita juga ga pernah tau berapa tahun durasi hidup kita masing-masing.  Cerita ini dimulai ketika aku masih bekerja dimana kehidupanku saat itu masih dalam skala aman dan nyaman. Kala itu aku bekerja di salah satu perusahaan start-up di Bojonegoro mulai dari akhir tahun 2016. Aku sangat menikmati dan menyukai pekerjaanku yang tadinya cukup strugling  karena baru rintisan. Semua sistem yang diterapkan serba baru buat aku, bahkan sistemnya baru saja didiskusikan ketika aku baru masuk kerja. Disana aku belajar memahami dunia kerja khususnya di bidang yang selama ini aku pelajari, Akuntansi. Tidak hanya cara journalizing transaction  tapi juga bagaimana cara mengambil keputusan dalam berbagai masalah yang terhitung baru buat aku.  Waktu berlalu sampai tahun 2017 dimana aku mulai memahami apa yang selama ini aku kerjakan, merasa puas setiap laporan keuangan ter