Tulisan ini aku buat selama aku berumur 24 tahun menuju 25 tahun. Beberapa orang menyebutnya quarter life crisis, padahal kita juga ga pernah tau berapa tahun durasi hidup kita masing-masing.
Cerita ini dimulai ketika aku masih bekerja dimana kehidupanku saat itu masih dalam skala aman dan nyaman. Kala itu aku bekerja di salah satu perusahaan start-up di Bojonegoro mulai dari akhir tahun 2016. Aku sangat menikmati dan menyukai pekerjaanku yang tadinya cukup strugling karena baru rintisan. Semua sistem yang diterapkan serba baru buat aku, bahkan sistemnya baru saja didiskusikan ketika aku baru masuk kerja. Disana aku belajar memahami dunia kerja khususnya di bidang yang selama ini aku pelajari, Akuntansi. Tidak hanya cara journalizing transaction tapi juga bagaimana cara mengambil keputusan dalam berbagai masalah yang terhitung baru buat aku.
Waktu berlalu sampai tahun 2017 dimana aku mulai memahami apa yang selama ini aku kerjakan, merasa puas setiap laporan keuangan terkirim dan diterima dengan baik. Kadang aku mengapresiasi diri sendiri ketika pulang dalam keadaan lelah waktu akhir bulan, tandanya seharian aku produktif dengan pekerjaanku. Semakin hari aku mulai merasa bosan, pekerjaan yang kulakukan itu-itu saja. Memang apa lagi yang harus dilakukan seorang akuntan? Duduk didepan laptop dan melakukan penjurnalan. Aku menikmati setiap apapun yang kukerjakan yang penting produktif. Sampai pada tahun 2018, saat dimana aku mulai merasa pekerjaan ini mulai memanjakanku. Aku sadar bahwa nyaman yang aku rasakan disini itu jebakan, aku harus keluar dari jebakan ini kalo engga aku bakal stagnan dan ga ada perkembangan.
Dalam situasi ini, ada seorang teman yang menawarkan pekerjaan. Dia bisa dibilang sahabat karena berteman udah dari SD, saat itu kebetulan dia lagi main ke rumah. Cukup menantang dan bidang pekerjaannya berbeda dengan yang kulakukan saat itu, tawaran gajinya juga cukup bisa dipertimbangkan. Tapi aku sadar untuk switch ke pekerjaan lain butuh waktu. Aku harus memastikan diterimanya aku di pekerjaan baru, setelahnya baru izin ke atasan yang lama. Jika dapat izin, butuh waktu sekitar 1 bulan untuk officially out dari perusahaan. Aku bilang ke temanku, aku butuh waktu. Aku tidak terbiasa melakukan sesuatu secara spontan tanpa persiapan, harus well prepared, harus well organized. Melamar pekerjaan baru pun butuh waktu, update CV, surat lamaran yang meyakinkan dan berkas lainnya. Intinya semua itu butuh waktu, ga bisa instan. Tapi temanku terus meyakinkanku bahwa semua itu hanya formalitas saja, bahkan kakak dan ibuku juga ikut mendukungku untuk segera menerima tawaran itu. Mereka bilang aku terlalu perfeksionis dan terlalu lama dalam mengambil keputusan.
Setelah berbagai pertimbangan akhirnya kubuat lamaran pekerjaan saat itu juga, dengan tergesa-gesa tentunya karena waktu itu sudah malam. Kubilang ke temanku untuk menundanya besok namun dia sudah terlalu bersemangat dan akan menungguku saat itu juga. Bahagia sekali punya sahabat yang sangat dukung aku untuk move saat itu. Memang tujuanku saat itu adalah untuk move dan experience hal baru, keluar dari zona nyaman. Beberapa hari kutunggu progres lamaran kerja belum ada info apapun dari temanku. Dia menyarankan aku untuk segera izin ke bos dan resign dari kantor. Disitu dilema mulai muncul, belum ada kepastian tapi keluar? masa iya? Entah kena virus apa aku terpengaruh dengan temanku dia bilang "kita ga bisa nunggu lama, soalnya emang butuh banget, jadi mending cepet bilang ke bosmu". Finally aku mengajukan resign saat itu juga. Sempat merasa sungkan karena bosku sangat baik, beliau pasti keberatan tapi tetap mendukung keputusanku.
Beberapa hari setelah resign belum juga ada kabar dari perusahaan temanku. Sampai pada suatu titik temanku menanyakan.
"sil, dapet email dari PT.xxx ga?"
"engga tuh, emang udah pengumuman?"
"si x kok udah dapet email ya"
"hahaha berarti ga lolos dong"
"yaudah gapapa namanya juga coba-coba"
WHATTT!!!
Disitu kecewa, marah, sedih tercampur udah kayak rujak ulek dikira bikin seblak apa ya coba-coba? Kusimpan sendiri kabar ga enak ini sampai saat dimana kakak dan ibuku menanyakannya. Sesuai perkiraan mereka marah dan mulai menyalahkan si bungsu ini.
Semakin hari semakin kuyakinkan diriku untuk tidak menyesali keputusan yang udah kubuat. Aku yakin keinginanku untuk pergi lebih besar dibandingkan dengan keinginanku untuk stay. Aku tau ini
tidak mudah, semakin hari aku makin cinta dengan pekerjaanku, dengan rekan-rekan kerjaku. I like my job, I really love my friends here, but I’d like to move on. Harus berani melepas untuk mendapatkan. Aku tidak ingin menyalahkan siapapun atas keputusanku, karena memang ini yang aku inginkan. Aku yakin Allah sebegitu sayangnya denganku hingga kini aku harus meninggalkan apa yang sebenarnya aku cintai. Tapi satu hal yang harus kuingat, kedepannya jangan sampai kuambil keputusan segegabah ini, lagi. Setiap keputusan pasti ada konsekuensi yang harus ditanggung, dan inilah yang harus kuhadapi.
Akhirnya kuputuskan untuk mencari pekerjaan lain mengingat udah ga lama lagi aku udah harus out dari sini. Alhamdulillah saat itu banyak lowongan pekerjaan yang sesuai dengan jurusanku, namun hanya beberapa yang bertahan dalam list on going application-ku karena seleksi alam haha. Tiap hari ujian demi ujian datang, salah satunya adalah bertengkar dengan ibu gara-gara bakalan nganggur. Aku jadi merasa aku adalah orang terbodoh sedunia, kok bisanya tersetir dengan omongan orang lain. Kok bisanya dibuat sedih dan kecewa segininya sama manusia. Kebetulan waktu itu supervisorku baru saja masuk kerja setelah 2 bulan cuti. Beliau cukup shock dengan keputusanku untuk resign. Di minggu-minggu terakhir aku sering izin karena panggilan tes kerja di beberapa perusahaan. Ketika ditanya kenapa izin? Kujawab tugas dari perusahaan selanjutnya. Boong itu gaes haha..
Hari terakhir di dikantor hanya bersama 2 sahabatku di finance team, aku sudah berpamitan dengan rekan finance sehari sebelumnya. Saat itu sedang banyak hal yang harus diurus dirumah karena keponakan yang sedang sakit. Aku bersyukur paling tidak bisa mengurangi baper karena berpisah dengan rekan kerja. Bahagia seperti nama perusahaan ini, baik atau buruk pengalaman yang udah terjadi di sana, tentu akan jadi kenangan dan bisa jadi bahan obrolan kelak kalau kita berjumpa lagi. Sedikit ga percaya juga pada akhirnya aku benar-benar ninggalin tempat kerja pertamaku. Dan ternyata aku adalah orang terdrama yang pernah kutemui saat itu.
to be continued...
to be continued...
Komentar
Posting Komentar